Begitu cepat malam beringsut. Anganku ingin menjemput bayangmu ketika pagi turun dengan tetes embunnya. Aku terisap pada wajahmu yang meninggalkan wangi disetiap waktu. Selalu saja begitu. Sepertinya aku memang tak bisa menyingkirkan kesetiaanku. Mencintaimu dengan napas terengah dan kepala tengadah menghimpun doa:
“Tuhan, aku selalu ingin menghabiskan setiap detik bersamanya”
Siapa lagi kalau bukan engkau, yang di mataku tak pernah basi. Seperti pagi yang selalu memberikan benderang untuk bumi. Setelah malam membabi buta menenggelamkannya dalam gelap.
Setelah semua makin jelas di mataku, aku juga belum beranjak pegi. Meski mungkin tidak sedahsyat awalnya, kaki belum juga surut mengharapmu.Apakah ini sebuah kebodohan? Barangkali, iya. Tapi peduli apa? Bisa mencintaimu sudah cukup bagiku. Kalaupun penantianku harus terlunta-lunta, dan akhirnya tak juga menemui titik muaranya, biarlah itu aku anggap sebagai batu ujian yang harus aku lewati. Tak penting apakah aku lulus atau diam di tempat. Yang pasti, aku telah melakukan apa yang seharusnya, bukan apa yang aku reka-reka.
Mungkin aku ini memang bodoh. Menunggu cinta semu dengan damba seribu dan dibalut kesendirian. Setiap waktu yang berlalu adalah bait-bait kesendirian dan penantian yang terus melilit.
“Aku akan selalu kembali untuk mendamba cintamu,” ucapku lirih dalam hati.
kalau boleh diibaratkan, aku seperti:
“Menggembara begitu jauh, dari timur ke barat. Seribu batu terlampaui. Kakiku menjejak jagad raya milik Tuhan; lautannya, tanah lumpurnya, permukaan curamnya, dan juga barisan bukit terjal untuk mencari dirimu…”
“Cintaku sama seperti tumbuhan dalam kayu. Cintaku seperti batu kekal,” yakinku.
Kalau sampai hari ini aku masih juga berharap kau akan datang dengan cintamu untukku, itu semua karena aku memang masih menunggumu. Ini di luar batas logika, atau malah di luar batas nalar biasa. Tapi biar saja, aku melakukannya sampai kaki dan hatiku benar-benar tak mau lagi berpihak.
“Detak yang menjepit detik. Ketuk yang mematuk hampa. Bergulat tiada, mengalir air mata dan melebur dalam duka. Tangis ini karena tak kuasa, tangis ini jadi pertanda. Ada cinta yang tak terlupa.”
- Moammar Emka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar